PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah
menerapkan sistem bagi hasil kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank.
Artinya, nasabah tidak akan pernah dapat menghitung dengan pasti berapa jumlah
uangnya yang akan bertambah setiap bulan bila mereka telah menabung dalam
jumlah tertentu. Namun, nasabah dapat menghitung porsi atau bagian yang menjadi
hak mereka dan berapa porsi atau bagian yang menjadi hak pihak bank syariah.
Perhitungan
bagi hasil dihitung secara harian oleh pihak bank syariah, namun akan diberikan
langsung oleh pihak bank melalui rekening nasabah setiap akhir bulan. Ada juga
beberapa bank syariah yang memberikan bagi hasilnya secara langsung melalui
rekening nasabah pada pertengahan bulan.
Nilai bagi
hasil yang diperoleh oleh nasabah tidak akan pernah sama setiap saat meskipun
jumlah uang yang mereka miliki di bank tersebut sama. Mangapa? Karena bagi
hasil tergantung pada berapa jumlah uang seluruh nasabah yang ditabung di bank
tersebut dan berapa jumlah uang yang telah dikelola oleh bank untuk
sektor-sektor usaha rill sehingga memberikan keuntungan bagi pihak bank.
Keuntunga inilah yang kemudian dibagi kepada pihak bank sebagai pengelola
uang (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik uang (shahibul mal) berdasarkan
porsi atau bagian yang telah disepakati bersama di muka.
Produk
Perbankan syariah
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran
Dana, (II) Penghimpunan Dana dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang
diberikan perbankan kepada nasabahnya.
Penyaluran
dana
Dalam
menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah
terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya
yaitu:
1.
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan
prinsip jual beli.
2.
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakuakan dengan
prinsip sewa.
3.
Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan
sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada
kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan
menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk
dalam kelompok ini adalah produk uang menggunakan prinsip jual beli seperti
murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu
ijiarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan
dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk
bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka.
Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan
mudharabah.
1.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip
jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang
atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan
dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli
dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
a.
Pembiayaan Murabahah
Murtabahah
bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu
(keuntungan) yaitu transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah
keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai
pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah
keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu
pembayarannya.
b.
Salam
Salam adalah
transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena
itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi
ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu
penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketentuan umum salam:
·
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti
jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
·
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka
nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai
dengan pesanan.
·
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai
persedian (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam
kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau
rekanan.ini disebut pasar Salam.
c.
Istishna
Produk ini
menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama
saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
ijiriah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir
masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah.
Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijiarah muntahhiyah bittmlik (sewa
yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga jual disepakati pada awal
perjanjian.
3.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan
mudharabah.
a.
Musyrakah
Musyarakah
adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka
secara bersama-sama memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang
berwujud maupun tidak berwujud (berupa dana, barang perdagangan [trading
asset], kewiraswaataan [entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan
[property], peralatan[equipment], atau intangible asset [seperti hak paten atau
goodwill], kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang lainnya
yang dapat dinilai dengan uang.
ketentuan
umum:
Semua modal
disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama.
Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukkan kebijakan usaha yang
dijalankan oleh pelaksana proyek.
b.
Mudharabah
Mudhrabah
adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
(shahibul maal) mempercyakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan
suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Perbedaan
yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi
atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu dalam mudhrabah modal
hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari
dua pihak atau lebih. Musyarakah dan Mudharabah dalam literatul fiqih berbentuk
perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang
tinggi dan menjungjung keadilan.
Ketentuan
umum
·
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus
diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan dalam satuan
uang.
·
Perhitungan dilakukan dengan pendapatan proyek (revenue sharing) dan
perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing).
·
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan akad.
·
Bank berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak
diperkenankan untuk mencapuri pekerjaan nasabah.
Mudharabah
Muqqayadah
Karakteristik
mudharabbah muqayadah pada dasarnya sama dengan spersyaratan diatas.
Perbedaannya adalah terletak pada dasarnya adalah terletak pada adanya
pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaanpemilik modal.
4.
Akad Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanyaa diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelngkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti
biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti
biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.
Hiwalah (Alih Utang – Piutang)
Hiwalah
adalah transaksi mengalihkan utang piutang.
b.
Rahn (Gadai)
Tujuan akad
rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas
ukuran,sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c.
Qardh
Qardh adalah
pinjaman uang.
d.
Wakalah
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan
L/C, inkaso dan transfer uang.
e.
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank
dapat diberikan dengan tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban
pembayaran.
2. Produk Penghimpunan Bank
Penghimpunan
dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabuangan dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadiah dan mudharabah.
1.
Prinsip Wadiah
Prinsip
wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah
dhamanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang
dititipi. Sedangkan dalam hal Wadiah dhamanah, pihak yang dititipi (bank)
bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan
harta titipan tersebut.
Karena
wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad
dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak
sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Ketentuan
umum dari produk ini adalah:
·
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung
bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung
kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu
insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·
Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran
dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank
dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
·
Terhadap pembukuan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya
administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
·
Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap
berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2.
Prinsip Mudharabah
Dalam
mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana
tersebut digunakan seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini
akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank
menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab
penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada
mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah,
ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan
berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan
kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga
yaitu:
a.
Mudaharabah mutlaqah
Penerapan
mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua
jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana
yang dihimpun.
b.
Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet
Jenis
mudharabbah ini merupakan simpanan khusus (restriced investment) dimana pemilik
dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank.
Misalnya diisyarakatkan digunakan untuk bisnis tertentu atau diisyarkatkan
untuk nasabah tertentu. Perhitungan bagi hasil Mudharabah Muqqayyadah on
balance Sheet adalah seluruh nasabah kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu
pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah investor
memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank syariah untuk mengatur seluruh
aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh
sektor.
c.
Mudharabah Muqqayyadah off Balance Sheet
Jenis
muddarabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langusung kepada pelaksana
usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan
antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Dalam skema ini bank syariah
bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara
off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan
pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nsabah
investor dan pelaksana usaha bank hanya memperoleh arrengger fee.
3.
Akad Pelangkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad
pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun
ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah
(Perwakilan)
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan
transfer uang.
III.C
Jasa Perbankan
Bank syariah
dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan
mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara
lain berupa:
a.
Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada
prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata
uang yang tidak sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama
(spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b.
Ijarah (sewa)
Jenis
kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit
box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan
sewa dari jasa tersebut.
ASURANSI YANG SEJALAN DENGAN ISLAM DAN YAN TIDAK SEJALAN DENGAN ISLAM
Sejarah dan
Pengertian
Asuransi telah lahir
dan ditemukan jauh sebelum datangnya Islam yang digali melalui sejarah
perekonomian dan kebudayaan manusia sejak zaman dulu, bahkan para pakar sejarah
mengaitkannya dengan sejarah nabi Yusuf as. Sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab suci al-Qur'an[1].
Riwayat lain menurut Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak
zaman Babilonia sekitar 3000 tahun sebelum masehi[2].
Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di barat kemudian berdirilah Lloyd
of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Berbeda dengan asuransi
syariah, sejarah lahirnya asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan
sebutan Al-Aqilah. Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi
bagian dari hukum Islam. Hal ini didasarkan oleh hadits dari baginda nabi
Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dia berkata:
berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu melempar batu
ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta
janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan kepada baginda Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw, memutuskan ganti
rugi dari pembunuhan janin tersebutdengan pembebasan seorang budak laki-laki
maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian tersebut dengan diyat
yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR.
Bukhori)
Dalam budaya suku Arab
dulu, jika anggota suku membunuh anggota suku yang lain, maka ahli waris
terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran uang darah) sebagai penutupan.
Kemudian Rasulullah Saw membuat ketentuan tentang penyelamatan jiwa para
tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, maka harus membayar tebusan
untuk membebaskannya. Selain itu, Rasulullah Saw juga telah menetapkan
menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah kompensasi untuk
berbagai kecelakaan akibat perang seperti :
·
5 ekor unta untuk luka tulang dalam
·
10 ekor unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki
·
12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris)
Dari sejarah diatas
dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi syariah berbeda dengan
konvensional. Dimana sejarah asuransi syariah lebih kepada tolong menolong satu
sama lain sedangkan konvensional lebih kepada mencari keuntungan semata.
Perkembangan sejarah
diatas akhirnya memunculkan sebuah pengertian berbeda, dimana pengertian
asuransi konvensional sebagaimana disebutkan diatas bahwa asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikat diri
pada tertanggung. Sedangkan asuransi syariah yang oleh beberapa ulama
mendefinisikannya seperti menurut Rofiq Yunus Al-Mashri, asuransi adalah
perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung untuk sesuatu yang dipertanggungkan[3].
Sedangkan Wahbah
Zuhaili dalam Fikih Islami mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya.
Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni
(asuransi dengan pembagian tetap).
Asuransi ini adalah
kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi
ketika salah seorang diantara mereka mendapat kecelakaan/kerugian. Kecelakaan
yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian,
kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai
dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi
orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Dan at-ta’min bi
qist sabit adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang
kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan
perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti
rugi.
Lebih lanjut
dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min bi qist
sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan antara kedua
asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga terletak pada tujuan masing-masing. At-ta’min
at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata
untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang
anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum kebolehan
at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan
prinsip Islam.
Mekanisme Umum
Model asuransi
konvensional dilarang dalam Islam karena mengandung beberapa hal yang
bertentangan dengan syariah diantaranya:
1.
Jual Beli Resiko
Dalam asuransi
konvensional secara umum mekanismenya adalah mengurangi uncertainty
(ketidakpastian, keraguan) yang disebabkan oleh adanya kemungkinan kerugian.
Asuransi memberikan kepastian kepada peserta asransi dengan memberikan biaya
kerugian atau transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari
peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer
of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai
konsekwensi, maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik
perusahaan ausransi. Perusahaan asuransi akan memberikan klaim atau tuntutan
atas suatu hak yang timbul karena persyaratan dalam perjanjian yang ditentukan
sebelumnya telah dipenuhi.
Model seperti ini dalam
pandangan ulama tidak diperbolehkan, hal ini karena premi asuransi yang
dibayarkan merupakan imbalan jasa atas jaminan yang diberikan kepada
tertanggung untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung.
Selain itu, juga merupakan imbalan jasa atas perlindungan yang diberikan oleh
penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang terhadap resiko
hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa). Permi asuransi adalah syarat yang
harus dibayarkan sebagai pra-syarat adanya perjanjian asuransi (no premium
no insurance). Hal ini mengandung unsur-unsur perjudian/taruhan, spekulasi
dan riba karena model perputaran uang dalam asuransi konvensional masih samar,
terutama pembayaran klain atas polis asuransi dan hal ini mengandung ghoror.
Selain itu perusahaan terkadang beruntung dan terkadang merugi dengan artian
apabila insiden itu besar dan lebih banyak daripada yang dibayar, maka
perusahaan merugi. Apabila insidenya kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar
klaimnya, maka dia beruntung atau sebaliknya yaitu jika tidak terjadi insiden
sama sekali maka kliennya merugi. Dan model ini dinamakan jual beli resiko.
Lebih dari itu, akad
atau perjanjian dalam asuransi konvensional yang digunakan adalah jual beli
(aqd tadabuli). Namun jika memang akadnya jual beli, sudah seharusnya syarat
dalam transaksi jual beli harus terpenuhi. Diantara syarat itu adalah adanya
penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada
asuransi konvensional ini, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh
dana. Padahal, asuransi konvensional secara pengertian hanya mengikat antara
penanggung dan tertanggung sehingga jelas keghororannya.
2.
Taruhan
Hal lain yang sering
dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana
yang yang telah disetorkan kepada perusahaan. Dalam praktek asuransi yang murni
berorientasi bisnis berlomba menghadirkan model atau sistem terbaik untuk menggaet
pelanggan. Sehingga sistem yang ditawarkan beraneka ragam. Beberapa model
asuransi konvensional yang saat ini berkembang adalah:
a.
Dana Hangus, nasabah yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin
mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus.
bahkan yang lebih parah lagi, premi yang sudah dibayarkan akan hangus jika
tidak ada klaim.
b.
Manfaat Hilang. Manfaat asuransi tidak berlaku apabila pembayaran premi
dihentikan atau tunggakan premi tidak dilunasi dalam masa leluasa (grace
period). Seperti pada asuransi Bumiputera
c.
Dana yang telah disetorakan (premi) berkurang nilainya ketika masa habis
kontrak dan tidak ada klaim selama kontrak berlangsung. Seperti asuransi
Sinarmas.
Hal ini menurut para
ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu
melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan
ini nasabah dalam posisi yang didzalimi, padahal dalam praktek muamalah
dilarang saling mendzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara
(tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Kesimpulan
Asuransi konvensional
memiliki banyak kelemahan dan praktek-praktek operasionalnya yang disembunyikan
sehingga menuai banyak larangan dalam syariat Islam. Diantara kelemahan dan
ketidak jelasan sebagai berikut:
1.
Akad/kontrak. Kontrak dalam asuransi konvensional adalah jual beli, namun
tidak melaksanakan syarat-syarat jual beli.
2.
Cara penentuan besaran premi yang dibayarkan ke perusahaan berdasarkan bunga
komulatif (pokok dan bunga) yang didapat perusahaan.
3.
Dana premi yang telah dibayarkan bisa hilang secara keseluruhan, atau hilang
manfaatnya, atau kembali namun dengan jumlah yang berkurang tanpa ada kejelasan
terlebih dulu.
4.
Dana pembayaran klaim polis didapat dari sumber yang samar.
5.
Reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional bersifat bebas
dan tidak mengikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar