Rabu, 27 April 2016

PERBANKAN SYARIAH DAN ASURANSI DALAM PANDANGAN ISLAM

PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank. Artinya, nasabah tidak akan pernah dapat menghitung dengan pasti berapa jumlah uangnya yang akan bertambah setiap bulan bila mereka telah menabung dalam jumlah tertentu. Namun, nasabah dapat menghitung porsi atau bagian yang menjadi hak mereka dan berapa porsi atau bagian yang menjadi hak pihak bank syariah.
Perhitungan bagi hasil dihitung secara harian oleh pihak bank syariah, namun akan diberikan langsung oleh pihak bank melalui rekening nasabah setiap akhir bulan. Ada juga beberapa bank syariah yang memberikan bagi hasilnya secara langsung melalui rekening nasabah pada pertengahan bulan.
Nilai bagi hasil yang diperoleh oleh nasabah tidak akan pernah sama setiap saat meskipun jumlah uang yang mereka miliki di bank tersebut sama. Mangapa? Karena bagi hasil tergantung pada berapa jumlah uang seluruh nasabah yang ditabung di bank tersebut dan berapa jumlah uang yang telah dikelola oleh bank untuk sektor-sektor usaha rill sehingga memberikan keuntungan bagi pihak bank. Keuntunga  inilah yang kemudian dibagi kepada pihak bank sebagai pengelola uang (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik uang (shahibul mal) berdasarkan porsi atau bagian yang telah disepakati bersama di muka.
Produk Perbankan syariah
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Penghimpunan Dana dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
1.     Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2.     Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakuakan dengan prinsip sewa.
3.     Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk uang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijiarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.
1.     Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
a.     Pembiayaan Murabahah
Murtabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) yaitu transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayarannya.
b.     Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketentuan umum salam:
·        Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
·        Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
·        Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persedian (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan.ini disebut pasar Salam.
c.      Istishna
Produk ini menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2.     Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijiriah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijiarah muntahhiyah bittmlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga jual disepakati pada awal perjanjian.
3.     Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan mudharabah.
a.     Musyrakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang berwujud maupun tidak berwujud (berupa dana, barang perdagangan [trading asset], kewiraswaataan [entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan [property], peralatan[equipment], atau intangible asset [seperti hak paten atau goodwill], kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukkan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
b.     Mudharabah
Mudhrabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercyakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu dalam mudhrabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Musyarakah dan Mudharabah dalam literatul fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjungjung keadilan.
Ketentuan umum
·        Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan dalam satuan uang.
·        Perhitungan dilakukan dengan pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing).
·        Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan akad.
·        Bank berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak diperkenankan untuk mencapuri pekerjaan nasabah.
Mudharabah Muqqayadah
Karakteristik mudharabbah muqayadah pada dasarnya sama dengan spersyaratan diatas. Perbedaannya adalah terletak pada dasarnya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaanpemilik modal.
4.     Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanyaa diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelngkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.     Hiwalah (Alih Utang – Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang.
b.     Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas ukuran,sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c.      Qardh
Qardh adalah pinjaman uang.
d.     Wakalah
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
e.      Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban pembayaran.
  
          2.  Produk Penghimpunan Bank
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabuangan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah.
1.     Prinsip Wadiah
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal Wadiah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
·        Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·        Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
·        Terhadap pembukuan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
·        Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2.     Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu:
a.     Mudaharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
b.     Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet
Jenis mudharabbah ini merupakan simpanan khusus (restriced investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya diisyarakatkan digunakan untuk bisnis tertentu atau diisyarkatkan untuk nasabah tertentu. Perhitungan bagi hasil Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet adalah seluruh nasabah kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah investor memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank syariah untuk mengatur seluruh aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh sektor. 
c.      Mudharabah Muqqayyadah off Balance Sheet
Jenis muddarabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langusung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Dalam skema ini bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nsabah investor dan pelaksana usaha bank hanya memperoleh arrengger fee.  
3.     Akad Pelangkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
III.C   Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:
a.     Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b.     Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

ASURANSI YANG SEJALAN DENGAN ISLAM DAN YAN TIDAK SEJALAN DENGAN ISLAM

  Sejarah dan Pengertian
Asuransi telah lahir dan ditemukan jauh sebelum datangnya Islam yang digali melalui sejarah perekonomian dan kebudayaan manusia sejak zaman dulu, bahkan para pakar sejarah mengaitkannya dengan sejarah nabi Yusuf as.  Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci al-Qur'an[1]. Riwayat lain menurut Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak zaman Babilonia sekitar 3000 tahun sebelum masehi[2]. Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di barat kemudian berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Berbeda dengan asuransi syariah, sejarah lahirnya asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan sebutan Al-Aqilah. Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini didasarkan oleh hadits dari baginda nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan kepada baginda Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw, memutuskan ganti rugi dari pembunuhan janin tersebutdengan pembebasan seorang budak laki-laki maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian tersebut dengan diyat yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhori)
Dalam budaya suku Arab dulu, jika anggota suku membunuh anggota suku yang lain, maka ahli waris terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran uang darah) sebagai penutupan. Kemudian Rasulullah Saw membuat ketentuan tentang penyelamatan jiwa para tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, maka harus membayar tebusan untuk membebaskannya. Selain itu, Rasulullah Saw juga telah menetapkan menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah kompensasi untuk berbagai kecelakaan akibat perang seperti :
·        5 ekor unta untuk luka tulang dalam
·        10 ekor unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki
·        12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris)
Dari sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi syariah berbeda dengan konvensional. Dimana sejarah asuransi syariah lebih kepada tolong menolong satu sama lain sedangkan konvensional lebih kepada mencari keuntungan semata.
Perkembangan sejarah diatas akhirnya memunculkan sebuah pengertian berbeda, dimana pengertian asuransi konvensional sebagaimana disebutkan diatas bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikat diri pada tertanggung. Sedangkan asuransi syariah yang oleh beberapa ulama mendefinisikannya seperti menurut Rofiq Yunus Al-Mashri, asuransi adalah perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung untuk sesuatu yang dipertanggungkan[3].
Sedangkan Wahbah Zuhaili dalam Fikih Islami mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni (asuransi dengan pembagian tetap).
Asuransi ini adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kecelakaan/kerugian. Kecelakaan yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Dan at-ta’min bi qist sabit adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min bi qist sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan antara kedua asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga terletak pada tujuan masing-masing. At-ta’min at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum kebolehan at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam.
Mekanisme Umum
Model asuransi konvensional dilarang dalam Islam karena mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan syariah diantaranya:
1.       Jual Beli Resiko
Dalam asuransi konvensional secara umum mekanismenya adalah mengurangi uncertainty (ketidakpastian, keraguan) yang disebabkan oleh adanya kemungkinan kerugian. Asuransi memberikan kepastian kepada peserta asransi dengan memberikan biaya kerugian atau transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi, maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi. Perusahaan asuransi akan memberikan klaim atau tuntutan atas suatu hak yang timbul karena persyaratan dalam perjanjian yang ditentukan sebelumnya telah dipenuhi.
Model seperti ini dalam pandangan ulama tidak diperbolehkan, hal ini karena premi asuransi yang dibayarkan merupakan imbalan jasa atas jaminan yang diberikan kepada tertanggung untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung. Selain itu, juga merupakan imbalan jasa atas perlindungan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang terhadap resiko hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa). Permi asuransi adalah syarat yang harus dibayarkan sebagai pra-syarat adanya perjanjian asuransi (no premium no insurance). Hal ini mengandung unsur-unsur perjudian/taruhan, spekulasi dan riba karena model perputaran uang dalam asuransi konvensional masih samar, terutama pembayaran klain atas polis asuransi dan hal ini mengandung ghoror. Selain itu perusahaan terkadang beruntung dan terkadang merugi dengan artian apabila insiden itu besar dan lebih banyak daripada yang dibayar, maka perusahaan merugi. Apabila insidenya kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar klaimnya, maka dia beruntung atau sebaliknya yaitu jika tidak terjadi insiden sama sekali maka kliennya merugi. Dan model ini dinamakan jual beli resiko.
Lebih dari itu, akad atau perjanjian dalam asuransi konvensional yang digunakan adalah jual beli (aqd tadabuli). Namun jika memang akadnya jual beli, sudah seharusnya syarat dalam transaksi jual beli harus terpenuhi. Diantara syarat itu adalah adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada asuransi konvensional ini, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh dana. Padahal, asuransi konvensional secara pengertian hanya mengikat antara penanggung dan tertanggung sehingga jelas keghororannya.
2.       Taruhan
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana yang yang telah disetorkan kepada perusahaan. Dalam praktek asuransi yang murni berorientasi bisnis berlomba menghadirkan model atau sistem terbaik untuk menggaet pelanggan. Sehingga sistem yang ditawarkan beraneka ragam. Beberapa model asuransi konvensional yang saat ini berkembang adalah:
a.        Dana Hangus, nasabah yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. bahkan yang lebih parah lagi, premi yang sudah dibayarkan akan hangus jika tidak ada klaim.
b.       Manfaat Hilang. Manfaat asuransi tidak berlaku apabila pembayaran premi dihentikan atau tunggakan premi tidak dilunasi dalam masa leluasa (grace period). Seperti pada asuransi Bumiputera
c.     Dana yang telah disetorakan (premi) berkurang nilainya ketika masa habis kontrak dan tidak ada klaim selama kontrak berlangsung. Seperti asuransi Sinarmas.
Hal ini menurut para ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini nasabah dalam posisi yang didzalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling mendzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Kesimpulan
Asuransi konvensional memiliki banyak kelemahan dan praktek-praktek operasionalnya yang disembunyikan sehingga menuai banyak larangan dalam syariat Islam. Diantara kelemahan dan ketidak jelasan sebagai berikut:
1.       Akad/kontrak. Kontrak dalam asuransi konvensional adalah jual beli, namun tidak  melaksanakan syarat-syarat jual beli.
2.       Cara penentuan besaran premi yang dibayarkan ke perusahaan berdasarkan bunga komulatif (pokok dan bunga) yang didapat perusahaan.
3.       Dana premi yang telah dibayarkan bisa hilang secara keseluruhan, atau hilang manfaatnya, atau kembali namun dengan jumlah yang berkurang tanpa ada kejelasan terlebih dulu.
4.       Dana pembayaran klaim polis didapat dari sumber yang samar.
5.       Reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional bersifat bebas dan tidak mengikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar