Kamis, 28 April 2016

Achievement Motivation Training (AMT)

Achievement Motivation Training (AMT) adalah sebuah program pelatihan untuk pengembangan diri khususnya dalam hal peningkatan motivasi berprestasi pesertanya. Jadi yang dikembangkan oleh Achievement Motivation Training (AMT) adalah motivasi berprestasi-nya.

Tujuan Achievement Motivation Training (AMT) ini bukan menilai kepribadian pesertanya, akan tetapi untuk membantu mengembangkan motif berprestasi pesertanya. Motif prestasi yang dikembangkan oleh Achievement Motivation Training (AMT) adalah suatu dorongan dalam diri seseorang yang membuatnya mencari kepuasan melalui usaha pencapaian yang bersifat prestatif (achieving).

Dalam dunia kerja, Achievement Motivation Training (AMT) didesain untuk membantu perusahaan dalam upaya meningkatkan kemampuan karyawannya dalam hal memotivasi diri secara efektif. Karyawan yang mampu menumbuhkan motivasi diri secara efektif akan sangat mempengaruhi kehidupan kerja sehari-hari dan kepuasan kerja. Dengan kemampuan tersebut, akan terpupuk semangat karyawan dalam beprestasi dan terus berusaha untuk memetik hasil terbaik.

Motivation Training pertama kali diperkenalkan oleh guru besar psikologi Harvard University yaitu Prof. David McClelland. Model pelatihan ini telah diuji coba terhadap berbagai sasaran peserta maupun tempat dan ternyata berhasil mendorong semangat peserta untuk berprestasi dalam bidang pekerjaan masing-masing. Motivasi ternyata dapat mendorong meningkatkan kompetensi sehingga model program ini sekaligus menciptakan kinerja tinggi melalui kombinasi peningkatan motivasi dan kompetensi.

Rabu, 27 April 2016

SMART ENTREPRENEUR

Entrepreneur

Entrepreneur adalah seseorang yang memiliki kecakapan tinggi dalam melakukan perubahan, memiliki karakteristik yang hanya ditemukan sangat sedikit dalam sebuah populasi. Definisi lainnya adalah seseorang yang ingin bekerja untuk dirinya. Kata entrepreneur berasal dari kata Prancis, entreprendre, yang berarti berusaha. Dalam konteks bisnis, maksudnya adalah memulai sebuah bisnis. Kamus Merriam-Webster menggambarkan definisi entrepreneur sebagai seseorang yang mengorganisir, memenej, dan menanggung risiko sebuah bisnis atau usaha.
Istilah Entrepreneur dipopulerkan oleh seorang ekonomi Australia yang bernama Joseph Schumpeter (1883-1950). Menurut Schumpeter keseluruhan proses perubahan ekonomi akhirnya tergantung pada pribadi perilakunya yaitu Entrepreneur (wiraswastawan) Kewiraswastawan (Entrepreneurship). Para wiraswastawan melihat perubahan sebagai norma dan sesuatu yang sehat. Biasanya mereka tidak menciptakan perubahan sendiri, karena mereka sendiri bukan penemu. Namun demikian, ini menentukan wiraswastawan dan kewiraswastaan.

Entrepreneur selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai suatu peluang. Setiap perubahan ditanggapinya secara kreatif dan inovatif. Smart berarti cerdas atau pintar atau bijak. Kong Hu Cu mengatakan "Jika anda tidak pandai, maka anda harus cerdas". Definisi yang luas tentang Smart Entrepreneur adalah orang yang mampu menciptakan bisnis baru serta kreatif dan inovatif dengan berani mengambil risiko dan ketidakpastian untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan ancaman serta menggabungkan dengan sumberdaya yang dimilikinya. Inti dari Smart Entrepreneur adalah penggabungan otak kanan dan kiri secara optimal atau penggunaan intuisi dan informasi secara cerdas.

Analisa Bisnis dan Studi Kelayakan Usaha



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebelum bisnis baru dimulai atau dikembangkan terlebih dahulu harus diadakan penelitian tentang apakah bisnis yang akan dirintis atau dikembangkan menguntungkan atau tidak. Bila menguntungkan, apakah keuntungan itu memadai dan dapat diperoleh secara terus menerus dalam waktu yang lama? Secara teknis mungkin saja usaha itu layak dilakukan, tetapi secara ekonomis dan sosial kurang memberi manfaat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari bisnis?
2.      Apakah pengertian dari kelayakan usaha?
3.      Bagaimanakah proses dan tahapan studi kelayakan usaha?
4.      Bagaimanakah analisis kelayakan usaha atau bisnis?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari bisnis.
2.      Untuk mengetahui pengertian kelayakan usaha.
3.      Untuk mengetahui proses dan tahapan kelayakan studi usaha.
4.      Untuk mengetahui analisis kelayakan usaha atau bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bisnis
Pada saat mendengar kata “bisnis”, ingatan kita sejenak akan membayangkan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan besar seperti PT Unilever Indoesia, PT Indofood Sukses Makmur, maupun berbagai perusahaan kecil yang melakukan kegiatan perdagangan dan produksi. Lalu apa yang dimaksud dengan “bisnis” itu sendiri? Menurut Steinholff (1979: 5), “Business is all those activities involved in providing the goods and services needed or desired by people.”[1]
Dalam pengertian ini, kegiatan bisnis sebagai aktivitas yang meyediakan barang dan jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh konsumen, dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memiliki badan hukum, perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun perorangan yang tidak memiliki badan hukum maupun badan usaha seperti pedagang kaki lima, warung yang tidak memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), serta usaha informal lainnya.
Produk yang dihasilkan dan diperdagangkan oleh kegiatan bisnis mencakup keseluruhan tangible goods maupun intangible goods (jasa). Yang dimaksud dengan tangible goods adalah barang-barang yang dapat diindra oleh pancaindra manusia, seperti mobil, rumah, kursi, pulpen, mi instan, sabun cuci, dan lain-lain.
Sedangkan jasa adalah produk yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, tetapi dapat dirasakan manfaatnya setelah konsumen mengkonsumsi jasa tersebut. Sebagai contoh, keandalan seorang pengacara dalam memberikan jasanya tidak dapat diukur dari keberadaan fisik maupun asal suku bangsa pengacara tersebut.
Pengertian bisnis lainnya diberikan oleh Griffin dan Ebert (1996), “Business is an organization that provides goods or services in order to earn profit.”[2] Sejalan dengan definisi tersebut, aktivitas bisnis melalui penyediaan barang dan jasa bertujuan untuk menghasilkan profit.
B.     Pengertian Kelayakan Usaha
Usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika dilihat dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal.
Agar tujuan perusahaan dapat tercapai sesuai dengan keinginan, apapun tujuan perusahaan (baik profile, social maupun gabungan dari keduanya), apabila ingin melakukan investasi, terlebih dahulu hendaknya dilakukan suatu studi. Tujuannya adalah untuk menilai apakah investasi yang akan ditanamkan layak atau tidak untuk dijalankan (dalam arti sesuai dengan tujuan perusahaan) atau dengan kata lain jika usaha tersebut dijalankan, akan memberikan manfaat atau tidak.
Suatu kegiatan dapat dikatakan layak apabila dapat memenuhi persyaratan tertentu. Untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha diperlukan perhitungan dan asumsi-asumsi sehingga ditarik kesimpulan bahwa dari segi keuangan perusahaan ini layak untuk dijalankan.
Studi kelayakan usaha dilakukan untuk mengidentifikasi masalah di masa yang akan dating, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan melesetnya hasil yang diinginkan dalam suatu investasi. Studi kelayakan usaha memperhitungkan hambatan atau peluang dari investasi yang akan dijalankan. Jadi, studi kelayakan usaha dapat memberikan pedoman atau arahan pada usaha yang akan dijalankan.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian studi kelayakan usaha adalah:
Sutau jegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan.[3]
            Kelayakan artinya penelitina yang dilakukan secara mendalam bertujuan untuk menentukan apakah usaha yang dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibangdingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain, kelayakan dapat berarti bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan financial dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan. Layak juga berarti dapat memberikan keuntungan yang tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankannya, tetapi juga bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat luas.
C.    Proses dan Studi Kelayakan Usaha
Studi kelayakan usaha dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut[4]:
1.      Tahap penemuan idea tau perumusan gagasan. Tahap penemuan ide adalah tahap di mana wirausaha mendapatkan ide untuk merintis usaha baru. Ide tersebut kemudian dirumuskan dan diidentifikasi, misalnya kemungkinan-kemungkinan bisnis yang paling member peluang untuk dilakukan dan menguntungkan dalam jangka waktu panjang. Banyak kemungkinan, misalnya bisnis industry, perakitan, perdagangan, usaha jasa, atau jenis usaha lain yang dianggap layak.
2.      Tahap formulasi tujuan. Tahap ini merupakan tahap perumusan visi dan misi bisnis, seperti visi dan misi bisnis yang hendak diemban setelah bisnis tersebut diidentifikasi; apakah misalnya untuk menciptakan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat sepanjang waktu ataukah untuk menciptakan keuntungan yang langgeng; atau apakah visi dan misi bisnis yag akan dikembangkan tersebut benar-benar menjadi kenyataan atau tidak? Semuanya dirumuskan dalam bentuk tujuan.
3.      Tahap analisis. Tahap penelitian, yaiutu proses sistematis yang dilakukan untuk membuat suatu keputusan apakah bisnis tersebut layak dilaksanakan atau tidak. Tahap ini dilakukan seperti prosedur proses penelitian ilmiah yang lain, yaitu dimulai dengan mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, dan menarik kesimpulan. Kesimpulan dalam studi kelayakan usaha hanya ada dua, yaitu dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Adapun aspek-aspek yang harus diamati dan dicermati dalam tahap analisis tersebut, meliputi:
a.       Aspek pasar, mencakup produk yang akan dipasarkan, peluang, permintaan dan penawaran, harga, segmentasi, pasar sasaran, ukuran, perkembangan, dan struktur pasar serta strategi pesaing.
b.      Aspek teknik produksi atau operasi, meliputi lokasi, gedung bangunan, mesin dan peralatan, bahan baku dan bahan penolong, tenaga kerja, metode produksi, lokasi dan tata letak pabrik atau tempat usaha.
c.       Aspek manajemen atau pengelolaan, meliputi organisasi, aspek pengelolaan tenaga kerja, kepemilikan, yuridis, lingkungan, dan sebagainyan. Aspek yuridis dan lingkungan perlu dianalisis sebab perusahaan harus mendapat pengakuan dari berbagai pihak dan harus ramah lingkungan.
d.      Aspek financial atau keuangan, meliputi sumber dana atau penggunaannya, proyeksi biaya, pendapatan, keuntungan, dan arus kas.
4.      Tahap keputusan. Setelah dievaluasi, dipelajari, dianalisis, dan hasilnya meyakinkan, langkah berikutnya adalah tahap pengambilan keputusan, apakah bisnis tersebut layak dilakasanakan atau tidak. Karena menyangkut keperluan investasi yang mengandung risiko maka keputusan bisnis biasanya didasarkan pada beberapa criteria, seperti Periode Pembayaran Kembali (Pay Back Period, PBP), Nilai Sekarang Bersih (Net Present Value, NPV), Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Return, IRR), dan sebagainya.
Untuk menganalisis suatu keputusan bisnis dilakukan pengkajian terhadap hal-hal berikut:
a.       Aset dan kewajiban. Perlu diketahui daftar atau data secara akurat tentang setiap harta dan semua kewajiban (liabilitas) yang akan diambil alih. Keakuratan data tersebut, jika memungkinkan, sebaiknya dinyatakan oleh akuntan public yang bersertifikat.
b.      Piutang usaha. Sebelum membeli suatu bisnis, mintalah daftar umur piutang usaha. Jika mungkin termasuk masalah penagihan yang dihadapi oleh perusahaan selama ini. Mintalah juga bukti mengenai beberapa persen bisnis itu mampu ditagih dalam kurun waktu tertentu dan apakah piutang dapat tertagih sesuai nilai ekonomisnya.
c.       Lokasi usaha. Apakah lokasi usaha yang akan dibeli cukup strategis. Jika tidak strategis, berapa besar biaya yang harus dikeluakan untuk memindahkannya ke lokasi lain yang lebih strategis, terutama dari sudut pasar, bahan baku, dan tenaga kerja.
d.      Persyaratan istimewa. Apakah ada persyaratan istimewa, misalnya lisensi, izin khusus, dan persyaratan hukum yang lain untuk bisnis tersebut. Apakah persyaratan istimewa tersebut juga termasuk dalam pembelian bisnis. Dengan kata lain, apakah persyaratan istimewa tersebut juga dialihkan kepada pemilik baru.
e.       Kontrak. Apakah bisnis tersebut terikat dengan kontrak-kontrak yang akan dialihkan keada pemilik baru. Semua isi kontrak tersebut (secara legal dan praktis) yang akan diwarisi harus dipahami. Dapatkah semua kontrak itu dipindahtangankan kepada pemilik, terutama kontrak yang belum jatuh tempo.
D.    Analisi Kelayakan Usaha
Tadi telah dijelaskan bahwa untuk mengetahui layak tidaknya suatu bisnis untuk dilakukan, harus dianalisis berbagai aspeknya. Bagaimana cara mengetahui bahwa aspek-aspek tersebut layak atau tidak? Berikut ini akan dibahas beberapa criteria yang dapat dijadikan aspek penilaian[5].
1.      Analisis Aspek Pemasaran
Untuk menganalisis aspek pemasaran, wirausaha terlebih dahulu harus melakukan penelitian pemasaran dengan menggunakan system informasi pemasaran yang memadai berdasarkan analisis dan prediksi apakah bisnis yang akan dirintis atau dikembangkan memiliki peluang pasar yang memadai ataukah tidak. Dalam analisis pasar biasanya terdapat beberapa komponen yang harus dianalisis dan dicermati, diantaranya:
a.       Kebutuhan dan keinginan konsumen. Barang dan jasa apa yang banyak dibutuhkan dan diinginkan konsumen? Berapa banyak yang mereka butuhkan? Bagaimana daya beli mereka? Kapan mereka membutuhkan? Jika kebutuhan dan keinginan mereka teridentifikasi dan memungkinkan untuk dipenuhi berarti peluang pasar bisnis kita terbuka dan layak bila dilihat dari kebutuhan/keinginan konsumen.
b.      Segmentasi pasar. Pelanggan dikelompokkan dan diidentifikasi, misalnya berdasarkan geografi, demografi, dan social budaya. Jika segmentasi pasar teridentifikasi maka pasar sasaran akan dapat terwujud dan tercapai.
c.       Target. Target pasar menyangkut banyaknya konsumen yang dapat diraih. Berapa target yang ingin dicapai? Apakah konsumen loyal terhadap bisnis? Apakah produk yang ditawarkan dapat member kepuasan atau tidak? Jika konsumen loyal, maka potensi pasar tinggi.
d.      Nilai tambah. Wirausaha harus mengetahui nilai tambah produk dan jasa pada setiap rantai pemasaran, mulai dari pemasok, agen, hingga konsumen akhir. Nilai tambah barang dan jasa biasanya diukur dengan harga, misalnya berapa harga dari pabrik pemasok, harga setelah di agen, dan harga setelah ke konsumen.
e.       Masa hidup produk. Harus dianalisis apakah masa hidup produk dan jasa bertahan lama atau tidak. Apakah ukuran lama masa produk lebih dari waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan laba sampai modal kembali atau tidak. Jika masa produk lebih lama, berarti potensi pasar tinggi. Harus dianalisis juga apakah produk industry baru atau industry lama sudah mapan atau produk industry justru sedang menurun. Jika produk industry sedang bertumbuh, maka potensi pasar tinggi.
f.       Struktur pasar. Harus dianalisis apakah barang dan jasa akn dipasarkan pada pasar persaingan tidak sempurna (seperti monopoli, oligopoly dan monopolistic), atau pasar persaingan sempurna. Jika barang dan jasa masuk dalam pasar persaingan tidak sempurna, berarti potensi pasar tinggi disbanding bila produk termasuk pasar persaingan sempurna.
g.      Persaingan dan strategi pesaing. Harus dianalisis apakah tingkat persaingan tinggi atau rendah. Jika persaingan tinggi, berarti peluang pasar rendah. Wirausaha harus membandingkan keunggulan pesaing dilihat dari strategi produk, harga, jaringan industry, promosi, dan tingkat penggunaan teknologi.
h.      Ukuran pasar. Ukuran pasar dapat dianalisis dari volume penjualan. Jika volume penjualan tinggi, berarti pasar potensial. Misalnya, dengan volume penjualan usaha skala kecil sebesar Rp 5 milyar pertahun atau sebesar Rp 10 juta perhari, berarti ukuran pasar cukup besar.
i.        Pertumbuhan pasar. Pertumbuhan pasar dapat dianalisis dari pertumbuhan volume penjualan. Jika pertumbuhan pasar tinggi (misalnya lebih dari 20%), berarti potensi pasar tinggi.
j.        Laba kotor. Apakah perkiraan margin laba kotor tinggi atau rendah. Jika profit margin kotor lebih dari 20%, berarti pasar potensial.
k.      Pangsa pasar. Pangsa pasar bisa dianalisis dari selisih jumlah barang dan jasa yang diminta dengan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan. Jika pangsa pasar menurut proyeksi meningkat, bahkan setelah lima tahun mencapai 40%, berarti bisnis yang akan dilakukan atau dikembangkan memiliki pangsa pasar yang tinggi.
2.      Analisis Aspek Produksi atau Operasi
Beberapa unsur dari aspek produksi atau operasi yang harus dianalisis adalah:
a.       Lokasi operasi. Untuk bisnis hendaknya dipilih lokasi yang strategis dan efisien, baik bagi perusahaan maupun bagi pelanggan, misalnya dekat ke pemasok, ke konsumen, kea lat transportasi, atau diantara ketiganya. Di samping itu, lokasi bisnis harus menarik agar konsumen tetap loyal.
b.      Volume operasi. Volume operasi harus relevan dengan potensi pasar dan prediksi permintaan sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan kapasitas. Volume operasi yang berlebihan akan menimbulkan masalah baru dalam penyimpanan/penggudangan yang pada akhirnya akan memengaruhi harga pokok penjualan.
c.       Mesin dan peralatan. Mesin dan peralatan harus sesuai dengan perkembangan teknologi masa kini dan yang akan dating serta harus disesuaikan dengan luas produksi agar tidak terjadi kelebihan kapasitas.
d.      Bahan baku dan bahan penolong. Bahan baku dan bahan penolong serta sumber daya yang diperlukan harus cukup tersedia. Persediaan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan sehingga biaya bahan baku menjadi efisien.
e.       Tenaga kerja. Berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan bagaimana kualifikasinya. Jumlah dan kualifikasi karyawan harus sesuai dengan keperluan jam kerja dan kualifikasi pekerjaan untuk menyelesaikannya.
3.      Analisis Aspek Manajemen
Dalam menganalisis aspek-aspek manajamen terdapat beberapa unsur yang harus dianalisis, seperti:
a.       Kepemilikan. Apakah unit bisnis yang akan didirikan merupakan milik pribadi atau milik bersama. Apa saja keuntungan dan kerugian dari unit bisnis yang dipilih tersebut? Hendakya dipilih yang tidak berisiko terlalu tinggi dan menguntungkan.
b.      Organisasi. Jenis organisai apa yang diperlukan? Apakah organisasi lini, staf, lini dan staf, atau bentuk lainnya. Tentukan jenis yang paling tepat dan efisien.
c.        Tim manajemen. Apakah bisnis akan dikelola sendiri atau melibatkan orang lain secara professional. Hal ini bergantung skala usaha dan kemampuan yang dimiliki wirausaha.
d.      Karyawan. Karyawan harus disesuaikan, baik dalam jumlah maupun kualifikasinya.
4.      Analisis Aspek Keuangan
Aspek analisis keuangan meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
a.       Kebutuhan dana, yaitu kebutuhan dana untuk operasional perusahaan, misalnya besarnya dana untuk aktiva tetap, modal kerja, dan pembiayaan awal.
b.      Sumber dana. Ada beberapa sumber dana yang layak digali, yaitu sumber dana internal (misalnya modal disetor dan laba ditahan) dan modal eksternal (misalnya penerbitan obligasi dan pinjaman).
c.       Proyeksi neraca. Sanat penting untuk mengetahui kekayaan perusahaan serta kondisi keuangannya, misalnya saldo lancer, aktiva tetap, kewajiban jangka pendek, kewajiban jangka panjang dan kekayaan bersih.
d.      Proyeksi laba rugi. Proyeksi laba atau rugi di masa yang akan datang. Komponennya meliputi proyeksi penjualan, biayadan laba rugi bersih.
e.       Proyeksi arus khas. Dari arus khas dapat dilihat kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajiban keuangannya. Ada tiga jenis arus khas, yaitu:
1.      Arus khas masuk, merupakan penerimaan berupa hasil penjualan atau pendaftaran.
2.      Arus khas keluar, merupakan biaya-biaya, termasuk pembayaran bunga dan pajak.
3.      Arus khas masuk bersih, merupakan selisih dari arus khas masuk dan asru khas keluar ditambah penyusutan dan perhitungan bunga setelah pajak.
BAB III
KESIMPULAN
Lalu apa yang dimaksud dengan “bisnis” itu sendiri? Menurut Steinholff (1979: 5), “Business is all those activities involved in providing the goods and services needed or desired by people. Dalam pengertian ini, kegiatan bisnis sebagai aktivitas yang meyediakan barang dan jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh konsumen, dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memiliki badan hukum, perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun perorangan yang tidak memiliki badan hukum maupun badan usaha seperti pedagang kaki lima, warung yang tidak memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), serta usaha informal lainnya.
Kelayakan usaha adalah sutau jegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan. Kelayakan artinya penelitina yang dilakukan secara mendalam bertujuan untuk menentukan apakah usaha yang dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibangdingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain, kelayakan dapat berarti bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan financial dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan. Layak juga berarti dapat memberikan keuntungan yang tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankannya, tetapi juga bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat luas.
Dalam proses dan tahap studi kelayakan usaha dapat dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain tahap penemuan idea tau perumusan gagasan, tahap formulasi tujuan, tahap analisis dan tahap keputusan. Dan untuk beberapa criteria yang dapat dijadikan aspek penilaian adalah sebagai berikut analisis aspek pemasaran, analisis aspek produksi atau operasi, analisis aspek manajemen dan analisis aspek keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Solihin, Ismail, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis dan Studi Kasus, PT Katalog Dalam Terbitan, Jakarta: Kencana, 2006.
Sunarya, PO, Abas, dkk, Kewirausahaan, PT C.V ANDI OFFESET, Yogyakarta, 2011.


[1] Ismail Solihin, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis dan Studi Kasus, PT Katalog Dalam Terbitan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 3.
[2] Ismail Solihin, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis dan Studi Kasus, PT Katalog Dalam Terbitan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 4.
[3]
[4] PO Abas Sunarya, Sudaryono, Asep Saefullah, Kewirausahaan, PT. C.V ANDI OFFESET, Yogyakarta, 2011, hlm. 129-131.
[5] PO Abas Sunarya, Sudaryono, Asep Saefullah, Kewirausahaan, PT. C.V ANDI OFFESET, Yogyakarta, 2011, hlm. 132-136.

PERBANKAN SYARIAH DAN ASURANSI DALAM PANDANGAN ISLAM

PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank. Artinya, nasabah tidak akan pernah dapat menghitung dengan pasti berapa jumlah uangnya yang akan bertambah setiap bulan bila mereka telah menabung dalam jumlah tertentu. Namun, nasabah dapat menghitung porsi atau bagian yang menjadi hak mereka dan berapa porsi atau bagian yang menjadi hak pihak bank syariah.
Perhitungan bagi hasil dihitung secara harian oleh pihak bank syariah, namun akan diberikan langsung oleh pihak bank melalui rekening nasabah setiap akhir bulan. Ada juga beberapa bank syariah yang memberikan bagi hasilnya secara langsung melalui rekening nasabah pada pertengahan bulan.
Nilai bagi hasil yang diperoleh oleh nasabah tidak akan pernah sama setiap saat meskipun jumlah uang yang mereka miliki di bank tersebut sama. Mangapa? Karena bagi hasil tergantung pada berapa jumlah uang seluruh nasabah yang ditabung di bank tersebut dan berapa jumlah uang yang telah dikelola oleh bank untuk sektor-sektor usaha rill sehingga memberikan keuntungan bagi pihak bank. Keuntunga  inilah yang kemudian dibagi kepada pihak bank sebagai pengelola uang (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik uang (shahibul mal) berdasarkan porsi atau bagian yang telah disepakati bersama di muka.
Produk Perbankan syariah
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Penghimpunan Dana dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
1.     Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2.     Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakuakan dengan prinsip sewa.
3.     Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk uang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijiarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.
1.     Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
a.     Pembiayaan Murabahah
Murtabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) yaitu transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayarannya.
b.     Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketentuan umum salam:
·        Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
·        Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
·        Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persedian (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan.ini disebut pasar Salam.
c.      Istishna
Produk ini menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2.     Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijiriah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijiarah muntahhiyah bittmlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga jual disepakati pada awal perjanjian.
3.     Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan mudharabah.
a.     Musyrakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang berwujud maupun tidak berwujud (berupa dana, barang perdagangan [trading asset], kewiraswaataan [entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan [property], peralatan[equipment], atau intangible asset [seperti hak paten atau goodwill], kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukkan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
b.     Mudharabah
Mudhrabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercyakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu dalam mudhrabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Musyarakah dan Mudharabah dalam literatul fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjungjung keadilan.
Ketentuan umum
·        Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan dalam satuan uang.
·        Perhitungan dilakukan dengan pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing).
·        Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan akad.
·        Bank berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak diperkenankan untuk mencapuri pekerjaan nasabah.
Mudharabah Muqqayadah
Karakteristik mudharabbah muqayadah pada dasarnya sama dengan spersyaratan diatas. Perbedaannya adalah terletak pada dasarnya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaanpemilik modal.
4.     Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanyaa diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelngkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.     Hiwalah (Alih Utang – Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang.
b.     Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas ukuran,sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c.      Qardh
Qardh adalah pinjaman uang.
d.     Wakalah
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
e.      Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban pembayaran.
  
          2.  Produk Penghimpunan Bank
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabuangan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah.
1.     Prinsip Wadiah
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal Wadiah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
·        Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·        Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
·        Terhadap pembukuan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
·        Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2.     Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu:
a.     Mudaharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
b.     Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet
Jenis mudharabbah ini merupakan simpanan khusus (restriced investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya diisyarakatkan digunakan untuk bisnis tertentu atau diisyarkatkan untuk nasabah tertentu. Perhitungan bagi hasil Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet adalah seluruh nasabah kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah investor memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank syariah untuk mengatur seluruh aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh sektor. 
c.      Mudharabah Muqqayyadah off Balance Sheet
Jenis muddarabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langusung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Dalam skema ini bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nsabah investor dan pelaksana usaha bank hanya memperoleh arrengger fee.  
3.     Akad Pelangkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
III.C   Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:
a.     Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b.     Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

ASURANSI YANG SEJALAN DENGAN ISLAM DAN YAN TIDAK SEJALAN DENGAN ISLAM

  Sejarah dan Pengertian
Asuransi telah lahir dan ditemukan jauh sebelum datangnya Islam yang digali melalui sejarah perekonomian dan kebudayaan manusia sejak zaman dulu, bahkan para pakar sejarah mengaitkannya dengan sejarah nabi Yusuf as.  Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci al-Qur'an[1]. Riwayat lain menurut Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak zaman Babilonia sekitar 3000 tahun sebelum masehi[2]. Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di barat kemudian berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Berbeda dengan asuransi syariah, sejarah lahirnya asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan sebutan Al-Aqilah. Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini didasarkan oleh hadits dari baginda nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan kepada baginda Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw, memutuskan ganti rugi dari pembunuhan janin tersebutdengan pembebasan seorang budak laki-laki maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian tersebut dengan diyat yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhori)
Dalam budaya suku Arab dulu, jika anggota suku membunuh anggota suku yang lain, maka ahli waris terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran uang darah) sebagai penutupan. Kemudian Rasulullah Saw membuat ketentuan tentang penyelamatan jiwa para tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, maka harus membayar tebusan untuk membebaskannya. Selain itu, Rasulullah Saw juga telah menetapkan menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah kompensasi untuk berbagai kecelakaan akibat perang seperti :
·        5 ekor unta untuk luka tulang dalam
·        10 ekor unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki
·        12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris)
Dari sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi syariah berbeda dengan konvensional. Dimana sejarah asuransi syariah lebih kepada tolong menolong satu sama lain sedangkan konvensional lebih kepada mencari keuntungan semata.
Perkembangan sejarah diatas akhirnya memunculkan sebuah pengertian berbeda, dimana pengertian asuransi konvensional sebagaimana disebutkan diatas bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikat diri pada tertanggung. Sedangkan asuransi syariah yang oleh beberapa ulama mendefinisikannya seperti menurut Rofiq Yunus Al-Mashri, asuransi adalah perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung untuk sesuatu yang dipertanggungkan[3].
Sedangkan Wahbah Zuhaili dalam Fikih Islami mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni (asuransi dengan pembagian tetap).
Asuransi ini adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kecelakaan/kerugian. Kecelakaan yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Dan at-ta’min bi qist sabit adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min bi qist sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan antara kedua asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga terletak pada tujuan masing-masing. At-ta’min at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum kebolehan at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam.
Mekanisme Umum
Model asuransi konvensional dilarang dalam Islam karena mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan syariah diantaranya:
1.       Jual Beli Resiko
Dalam asuransi konvensional secara umum mekanismenya adalah mengurangi uncertainty (ketidakpastian, keraguan) yang disebabkan oleh adanya kemungkinan kerugian. Asuransi memberikan kepastian kepada peserta asransi dengan memberikan biaya kerugian atau transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi, maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi. Perusahaan asuransi akan memberikan klaim atau tuntutan atas suatu hak yang timbul karena persyaratan dalam perjanjian yang ditentukan sebelumnya telah dipenuhi.
Model seperti ini dalam pandangan ulama tidak diperbolehkan, hal ini karena premi asuransi yang dibayarkan merupakan imbalan jasa atas jaminan yang diberikan kepada tertanggung untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung. Selain itu, juga merupakan imbalan jasa atas perlindungan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang terhadap resiko hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa). Permi asuransi adalah syarat yang harus dibayarkan sebagai pra-syarat adanya perjanjian asuransi (no premium no insurance). Hal ini mengandung unsur-unsur perjudian/taruhan, spekulasi dan riba karena model perputaran uang dalam asuransi konvensional masih samar, terutama pembayaran klain atas polis asuransi dan hal ini mengandung ghoror. Selain itu perusahaan terkadang beruntung dan terkadang merugi dengan artian apabila insiden itu besar dan lebih banyak daripada yang dibayar, maka perusahaan merugi. Apabila insidenya kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar klaimnya, maka dia beruntung atau sebaliknya yaitu jika tidak terjadi insiden sama sekali maka kliennya merugi. Dan model ini dinamakan jual beli resiko.
Lebih dari itu, akad atau perjanjian dalam asuransi konvensional yang digunakan adalah jual beli (aqd tadabuli). Namun jika memang akadnya jual beli, sudah seharusnya syarat dalam transaksi jual beli harus terpenuhi. Diantara syarat itu adalah adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada asuransi konvensional ini, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh dana. Padahal, asuransi konvensional secara pengertian hanya mengikat antara penanggung dan tertanggung sehingga jelas keghororannya.
2.       Taruhan
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana yang yang telah disetorkan kepada perusahaan. Dalam praktek asuransi yang murni berorientasi bisnis berlomba menghadirkan model atau sistem terbaik untuk menggaet pelanggan. Sehingga sistem yang ditawarkan beraneka ragam. Beberapa model asuransi konvensional yang saat ini berkembang adalah:
a.        Dana Hangus, nasabah yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. bahkan yang lebih parah lagi, premi yang sudah dibayarkan akan hangus jika tidak ada klaim.
b.       Manfaat Hilang. Manfaat asuransi tidak berlaku apabila pembayaran premi dihentikan atau tunggakan premi tidak dilunasi dalam masa leluasa (grace period). Seperti pada asuransi Bumiputera
c.     Dana yang telah disetorakan (premi) berkurang nilainya ketika masa habis kontrak dan tidak ada klaim selama kontrak berlangsung. Seperti asuransi Sinarmas.
Hal ini menurut para ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini nasabah dalam posisi yang didzalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling mendzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Kesimpulan
Asuransi konvensional memiliki banyak kelemahan dan praktek-praktek operasionalnya yang disembunyikan sehingga menuai banyak larangan dalam syariat Islam. Diantara kelemahan dan ketidak jelasan sebagai berikut:
1.       Akad/kontrak. Kontrak dalam asuransi konvensional adalah jual beli, namun tidak  melaksanakan syarat-syarat jual beli.
2.       Cara penentuan besaran premi yang dibayarkan ke perusahaan berdasarkan bunga komulatif (pokok dan bunga) yang didapat perusahaan.
3.       Dana premi yang telah dibayarkan bisa hilang secara keseluruhan, atau hilang manfaatnya, atau kembali namun dengan jumlah yang berkurang tanpa ada kejelasan terlebih dulu.
4.       Dana pembayaran klaim polis didapat dari sumber yang samar.
5.       Reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional bersifat bebas dan tidak mengikat.