Achievement Motivation Training (AMT) adalah sebuah program pelatihan
untuk pengembangan diri khususnya dalam hal peningkatan motivasi
berprestasi pesertanya. Jadi yang dikembangkan oleh Achievement
Motivation Training (AMT) adalah motivasi berprestasi-nya.
Tujuan
Achievement Motivation Training (AMT) ini bukan menilai kepribadian
pesertanya, akan tetapi untuk membantu mengembangkan motif berprestasi
pesertanya. Motif prestasi yang dikembangkan oleh Achievement Motivation
Training (AMT) adalah suatu dorongan dalam diri seseorang yang
membuatnya mencari kepuasan melalui usaha pencapaian yang bersifat
prestatif (achieving).
Dalam dunia kerja, Achievement Motivation
Training (AMT) didesain untuk membantu perusahaan dalam upaya
meningkatkan kemampuan karyawannya dalam hal memotivasi diri secara
efektif. Karyawan yang mampu menumbuhkan motivasi diri secara efektif
akan sangat mempengaruhi kehidupan kerja sehari-hari dan kepuasan kerja.
Dengan kemampuan tersebut, akan terpupuk semangat karyawan dalam
beprestasi dan terus berusaha untuk memetik hasil terbaik.
Motivation
Training pertama kali diperkenalkan oleh guru besar psikologi Harvard
University yaitu Prof. David McClelland. Model pelatihan ini telah diuji
coba terhadap berbagai sasaran peserta maupun tempat dan ternyata
berhasil mendorong semangat peserta untuk berprestasi dalam bidang
pekerjaan masing-masing. Motivasi ternyata dapat mendorong meningkatkan
kompetensi sehingga model program ini sekaligus menciptakan kinerja
tinggi melalui kombinasi peningkatan motivasi dan kompetensi.
Kamis, 28 April 2016
Rabu, 27 April 2016
SMART ENTREPRENEUR
Entrepreneur
adalah seseorang yang memiliki kecakapan tinggi dalam melakukan perubahan,
memiliki karakteristik yang hanya ditemukan sangat sedikit dalam sebuah
populasi. Definisi lainnya adalah seseorang yang ingin bekerja untuk dirinya.
Kata entrepreneur berasal dari kata Prancis, entreprendre, yang berarti berusaha.
Dalam konteks bisnis, maksudnya adalah memulai sebuah bisnis. Kamus
Merriam-Webster menggambarkan definisi entrepreneur sebagai seseorang yang
mengorganisir, memenej, dan menanggung risiko sebuah bisnis atau usaha.
Istilah
Entrepreneur dipopulerkan oleh seorang ekonomi Australia yang bernama Joseph
Schumpeter (1883-1950). Menurut Schumpeter keseluruhan proses perubahan ekonomi
akhirnya tergantung pada pribadi perilakunya yaitu Entrepreneur
(wiraswastawan) Kewiraswastawan (Entrepreneurship). Para wiraswastawan melihat
perubahan sebagai norma dan sesuatu yang sehat. Biasanya mereka tidak
menciptakan perubahan sendiri, karena mereka sendiri bukan penemu. Namun
demikian, ini menentukan wiraswastawan dan kewiraswastaan.
Entrepreneur
selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai suatu
peluang. Setiap perubahan ditanggapinya secara kreatif dan inovatif. Smart
berarti cerdas atau pintar atau bijak. Kong Hu Cu mengatakan "Jika anda
tidak pandai, maka anda harus cerdas". Definisi yang luas tentang Smart Entrepreneur
adalah orang yang mampu menciptakan bisnis baru serta kreatif dan inovatif
dengan berani mengambil risiko dan ketidakpastian untuk mencapai keuntungan dan
pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan ancaman serta
menggabungkan dengan sumberdaya yang dimilikinya. Inti dari
Smart Entrepreneur adalah penggabungan otak kanan dan kiri secara optimal
atau penggunaan intuisi dan informasi secara cerdas.
Analisa Bisnis dan Studi Kelayakan Usaha
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebelum bisnis baru dimulai atau dikembangkan
terlebih dahulu harus diadakan penelitian tentang apakah bisnis yang akan
dirintis atau dikembangkan menguntungkan atau tidak. Bila menguntungkan, apakah
keuntungan itu memadai dan dapat diperoleh secara terus menerus dalam waktu
yang lama? Secara teknis mungkin saja usaha itu layak dilakukan, tetapi secara
ekonomis dan sosial kurang memberi manfaat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari bisnis?
2. Apakah
pengertian dari kelayakan usaha?
3. Bagaimanakah
proses dan tahapan studi kelayakan usaha?
4. Bagaimanakah
analisis kelayakan usaha atau bisnis?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari bisnis.
2. Untuk
mengetahui pengertian kelayakan usaha.
3. Untuk
mengetahui proses dan tahapan kelayakan studi usaha.
4. Untuk
mengetahui analisis kelayakan usaha atau bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bisnis
Pada saat mendengar kata “bisnis”, ingatan kita
sejenak akan membayangkan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan
besar seperti PT Unilever Indoesia, PT Indofood Sukses Makmur, maupun berbagai
perusahaan kecil yang melakukan kegiatan perdagangan dan produksi. Lalu apa
yang dimaksud dengan “bisnis” itu sendiri? Menurut Steinholff (1979: 5), “Business is all those activities involved in
providing the goods and services needed or desired by people.”[1]
Dalam pengertian ini, kegiatan bisnis sebagai
aktivitas yang meyediakan barang dan jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh
konsumen, dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memiliki badan hukum,
perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun perorangan yang tidak memiliki
badan hukum maupun badan usaha seperti pedagang kaki lima, warung yang tidak
memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP), serta usaha informal lainnya.
Produk yang dihasilkan dan diperdagangkan oleh
kegiatan bisnis mencakup keseluruhan tangible
goods maupun intangible goods
(jasa). Yang dimaksud dengan tangible
goods adalah barang-barang yang dapat diindra oleh pancaindra manusia,
seperti mobil, rumah, kursi, pulpen, mi instan, sabun cuci, dan lain-lain.
Sedangkan jasa
adalah produk yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, tetapi dapat
dirasakan manfaatnya setelah konsumen mengkonsumsi jasa tersebut. Sebagai
contoh, keandalan seorang pengacara dalam memberikan jasanya tidak dapat diukur
dari keberadaan fisik maupun asal suku bangsa pengacara tersebut.
Pengertian bisnis lainnya diberikan oleh Griffin dan
Ebert (1996), “Business is an
organization that provides goods or services in order to earn profit.”[2]
Sejalan dengan definisi tersebut, aktivitas bisnis melalui penyediaan barang
dan jasa bertujuan untuk menghasilkan profit.
B.
Pengertian
Kelayakan Usaha
Usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat
memberikan penghasilan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pencapaian
tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika
dilihat dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas
atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya layak atau akan memberikan
keuntungan dan manfaat yang maksimal.
Agar tujuan perusahaan dapat tercapai sesuai dengan
keinginan, apapun tujuan perusahaan (baik profile, social maupun gabungan dari
keduanya), apabila ingin melakukan investasi, terlebih dahulu hendaknya
dilakukan suatu studi. Tujuannya adalah untuk menilai apakah investasi yang
akan ditanamkan layak atau tidak untuk dijalankan (dalam arti sesuai dengan
tujuan perusahaan) atau dengan kata lain jika usaha tersebut dijalankan, akan
memberikan manfaat atau tidak.
Suatu kegiatan dapat dikatakan layak apabila dapat
memenuhi persyaratan tertentu. Untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha
diperlukan perhitungan dan asumsi-asumsi sehingga ditarik kesimpulan bahwa dari
segi keuangan perusahaan ini layak untuk dijalankan.
Studi kelayakan usaha dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah di masa yang akan dating, sehingga dapat meminimalkan
kemungkinan melesetnya hasil yang diinginkan dalam suatu investasi. Studi
kelayakan usaha memperhitungkan hambatan atau peluang dari investasi yang akan
dijalankan. Jadi, studi kelayakan usaha dapat memberikan pedoman atau arahan
pada usaha yang akan dijalankan.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian studi kelayakan
usaha adalah:
Sutau jegiatan yang
mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha atau bisnis yang akan
dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan.[3]
Kelayakan artinya penelitina yang
dilakukan secara mendalam bertujuan untuk menentukan apakah usaha yang
dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibangdingkan dengan biaya
yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain, kelayakan dapat berarti bahwa usaha
yang dijalankan akan memberikan keuntungan financial dan nonfinansial sesuai
dengan tujuan yang mereka inginkan. Layak juga berarti dapat memberikan
keuntungan yang tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankannya, tetapi juga
bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat luas.
C.
Proses
dan Studi Kelayakan Usaha
Studi
kelayakan usaha dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut[4]:
1. Tahap
penemuan idea tau perumusan gagasan. Tahap penemuan ide adalah tahap di mana
wirausaha mendapatkan ide untuk merintis usaha baru. Ide tersebut kemudian
dirumuskan dan diidentifikasi, misalnya kemungkinan-kemungkinan bisnis yang
paling member peluang untuk dilakukan dan menguntungkan dalam jangka waktu
panjang. Banyak kemungkinan, misalnya bisnis industry, perakitan, perdagangan,
usaha jasa, atau jenis usaha lain yang dianggap layak.
2. Tahap
formulasi tujuan. Tahap ini merupakan tahap perumusan visi dan misi bisnis,
seperti visi dan misi bisnis yang hendak diemban setelah bisnis tersebut
diidentifikasi; apakah misalnya untuk menciptakan barang dan jasa yang
diperlukan masyarakat sepanjang waktu ataukah untuk menciptakan keuntungan yang
langgeng; atau apakah visi dan misi bisnis yag akan dikembangkan tersebut
benar-benar menjadi kenyataan atau tidak? Semuanya dirumuskan dalam bentuk
tujuan.
3. Tahap
analisis. Tahap penelitian, yaiutu proses sistematis yang dilakukan untuk
membuat suatu keputusan apakah bisnis tersebut layak dilaksanakan atau tidak.
Tahap ini dilakukan seperti prosedur proses penelitian ilmiah yang lain, yaitu
dimulai dengan mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, dan menarik
kesimpulan. Kesimpulan dalam studi kelayakan usaha hanya ada dua, yaitu
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Adapun aspek-aspek yang harus diamati dan
dicermati dalam tahap analisis tersebut, meliputi:
a. Aspek
pasar, mencakup produk yang akan dipasarkan, peluang, permintaan dan penawaran,
harga, segmentasi, pasar sasaran, ukuran, perkembangan, dan struktur pasar
serta strategi pesaing.
b. Aspek
teknik produksi atau operasi, meliputi lokasi, gedung bangunan, mesin dan
peralatan, bahan baku dan bahan penolong, tenaga kerja, metode produksi, lokasi
dan tata letak pabrik atau tempat usaha.
c. Aspek
manajemen atau pengelolaan, meliputi organisasi, aspek pengelolaan tenaga
kerja, kepemilikan, yuridis, lingkungan, dan sebagainyan. Aspek yuridis dan
lingkungan perlu dianalisis sebab perusahaan harus mendapat pengakuan dari
berbagai pihak dan harus ramah lingkungan.
d. Aspek
financial atau keuangan, meliputi sumber dana atau penggunaannya, proyeksi biaya,
pendapatan, keuntungan, dan arus kas.
4. Tahap
keputusan. Setelah dievaluasi, dipelajari, dianalisis, dan hasilnya meyakinkan,
langkah berikutnya adalah tahap pengambilan keputusan, apakah bisnis tersebut
layak dilakasanakan atau tidak. Karena menyangkut keperluan investasi yang
mengandung risiko maka keputusan bisnis biasanya didasarkan pada beberapa
criteria, seperti Periode Pembayaran Kembali (Pay Back Period, PBP), Nilai
Sekarang Bersih (Net Present Value, NPV), Tingkat Pengembalian Internal (Internal
Rate of Return, IRR), dan sebagainya.
Untuk menganalisis suatu keputusan bisnis dilakukan
pengkajian terhadap hal-hal berikut:
a. Aset
dan kewajiban. Perlu diketahui daftar atau data secara akurat tentang setiap
harta dan semua kewajiban (liabilitas) yang akan diambil alih. Keakuratan data
tersebut, jika memungkinkan, sebaiknya dinyatakan oleh akuntan public yang
bersertifikat.
b. Piutang
usaha. Sebelum membeli suatu bisnis, mintalah daftar umur piutang usaha. Jika
mungkin termasuk masalah penagihan yang dihadapi oleh perusahaan selama ini.
Mintalah juga bukti mengenai beberapa persen bisnis itu mampu ditagih dalam
kurun waktu tertentu dan apakah piutang dapat tertagih sesuai nilai
ekonomisnya.
c. Lokasi
usaha. Apakah lokasi usaha yang akan dibeli cukup strategis. Jika tidak
strategis, berapa besar biaya yang harus dikeluakan untuk memindahkannya ke
lokasi lain yang lebih strategis, terutama dari sudut pasar, bahan baku, dan
tenaga kerja.
d. Persyaratan
istimewa. Apakah ada persyaratan istimewa, misalnya lisensi, izin khusus, dan
persyaratan hukum yang lain untuk bisnis tersebut. Apakah persyaratan istimewa
tersebut juga termasuk dalam pembelian bisnis. Dengan kata lain, apakah
persyaratan istimewa tersebut juga dialihkan kepada pemilik baru.
e. Kontrak.
Apakah bisnis tersebut terikat dengan kontrak-kontrak yang akan dialihkan keada
pemilik baru. Semua isi kontrak tersebut (secara legal dan praktis) yang akan
diwarisi harus dipahami. Dapatkah semua kontrak itu dipindahtangankan kepada
pemilik, terutama kontrak yang belum jatuh tempo.
D.
Analisi
Kelayakan Usaha
Tadi telah dijelaskan bahwa untuk mengetahui layak
tidaknya suatu bisnis untuk dilakukan, harus dianalisis berbagai aspeknya.
Bagaimana cara mengetahui bahwa aspek-aspek tersebut layak atau tidak? Berikut
ini akan dibahas beberapa criteria yang dapat dijadikan aspek penilaian[5].
1.
Analisis
Aspek Pemasaran
Untuk
menganalisis aspek pemasaran, wirausaha terlebih dahulu harus melakukan
penelitian pemasaran dengan menggunakan system informasi pemasaran yang memadai
berdasarkan analisis dan prediksi apakah bisnis yang akan dirintis atau
dikembangkan memiliki peluang pasar yang memadai ataukah tidak. Dalam analisis
pasar biasanya terdapat beberapa komponen yang harus dianalisis dan dicermati,
diantaranya:
a. Kebutuhan
dan keinginan konsumen. Barang dan jasa apa yang banyak dibutuhkan dan
diinginkan konsumen? Berapa banyak yang mereka butuhkan? Bagaimana daya beli
mereka? Kapan mereka membutuhkan? Jika kebutuhan dan keinginan mereka
teridentifikasi dan memungkinkan untuk dipenuhi berarti peluang pasar bisnis
kita terbuka dan layak bila dilihat dari kebutuhan/keinginan konsumen.
b. Segmentasi
pasar. Pelanggan dikelompokkan dan diidentifikasi, misalnya berdasarkan
geografi, demografi, dan social budaya. Jika segmentasi pasar teridentifikasi
maka pasar sasaran akan dapat terwujud dan tercapai.
c. Target.
Target pasar menyangkut banyaknya konsumen yang dapat diraih. Berapa target
yang ingin dicapai? Apakah konsumen loyal terhadap bisnis? Apakah produk yang
ditawarkan dapat member kepuasan atau tidak? Jika konsumen loyal, maka potensi
pasar tinggi.
d. Nilai
tambah. Wirausaha harus mengetahui nilai tambah produk dan jasa pada setiap
rantai pemasaran, mulai dari pemasok, agen, hingga konsumen akhir. Nilai tambah
barang dan jasa biasanya diukur dengan harga, misalnya berapa harga dari pabrik
pemasok, harga setelah di agen, dan harga setelah ke konsumen.
e. Masa
hidup produk. Harus dianalisis apakah masa hidup produk dan jasa bertahan lama
atau tidak. Apakah ukuran lama masa produk lebih dari waktu yang dibutuhkan
untuk menghasilkan laba sampai modal kembali atau tidak. Jika masa produk lebih
lama, berarti potensi pasar tinggi. Harus dianalisis juga apakah produk
industry baru atau industry lama sudah mapan atau produk industry justru sedang
menurun. Jika produk industry sedang bertumbuh, maka potensi pasar tinggi.
f. Struktur
pasar. Harus dianalisis apakah barang dan jasa akn dipasarkan pada pasar
persaingan tidak sempurna (seperti monopoli, oligopoly dan monopolistic), atau
pasar persaingan sempurna. Jika barang dan jasa masuk dalam pasar persaingan
tidak sempurna, berarti potensi pasar tinggi disbanding bila produk termasuk
pasar persaingan sempurna.
g. Persaingan
dan strategi pesaing. Harus dianalisis apakah tingkat persaingan tinggi atau
rendah. Jika persaingan tinggi, berarti peluang pasar rendah. Wirausaha harus
membandingkan keunggulan pesaing dilihat dari strategi produk, harga, jaringan
industry, promosi, dan tingkat penggunaan teknologi.
h. Ukuran
pasar. Ukuran pasar dapat dianalisis dari volume penjualan. Jika volume
penjualan tinggi, berarti pasar potensial. Misalnya, dengan volume penjualan
usaha skala kecil sebesar Rp 5 milyar pertahun atau sebesar Rp 10 juta perhari,
berarti ukuran pasar cukup besar.
i.
Pertumbuhan pasar. Pertumbuhan pasar
dapat dianalisis dari pertumbuhan volume penjualan. Jika pertumbuhan pasar
tinggi (misalnya lebih dari 20%), berarti potensi pasar tinggi.
j.
Laba kotor. Apakah perkiraan margin laba
kotor tinggi atau rendah. Jika profit margin kotor lebih dari 20%, berarti
pasar potensial.
k.
Pangsa pasar. Pangsa pasar bisa
dianalisis dari selisih jumlah barang dan jasa yang diminta dengan jumlah
barang dan jasa yang ditawarkan. Jika pangsa pasar menurut proyeksi meningkat,
bahkan setelah lima tahun mencapai 40%, berarti bisnis yang akan dilakukan atau
dikembangkan memiliki pangsa pasar yang tinggi.
2.
Analisis
Aspek Produksi atau Operasi
Beberapa
unsur dari aspek produksi atau operasi yang harus dianalisis adalah:
a. Lokasi
operasi. Untuk bisnis hendaknya dipilih lokasi yang strategis dan efisien, baik
bagi perusahaan maupun bagi pelanggan, misalnya dekat ke pemasok, ke konsumen,
kea lat transportasi, atau diantara ketiganya. Di samping itu, lokasi bisnis
harus menarik agar konsumen tetap loyal.
b. Volume
operasi. Volume operasi harus relevan dengan potensi pasar dan prediksi
permintaan sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan kapasitas. Volume
operasi yang berlebihan akan menimbulkan masalah baru dalam
penyimpanan/penggudangan yang pada akhirnya akan memengaruhi harga pokok
penjualan.
c. Mesin
dan peralatan. Mesin dan peralatan harus sesuai dengan perkembangan teknologi
masa kini dan yang akan dating serta harus disesuaikan dengan luas produksi
agar tidak terjadi kelebihan kapasitas.
d. Bahan
baku dan bahan penolong. Bahan baku dan bahan penolong serta sumber daya yang
diperlukan harus cukup tersedia. Persediaan tersebut harus sesuai dengan
kebutuhan sehingga biaya bahan baku menjadi efisien.
e. Tenaga
kerja. Berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan bagaimana kualifikasinya.
Jumlah dan kualifikasi karyawan harus sesuai dengan keperluan jam kerja dan
kualifikasi pekerjaan untuk menyelesaikannya.
3.
Analisis
Aspek Manajemen
Dalam
menganalisis aspek-aspek manajamen terdapat beberapa unsur yang harus
dianalisis, seperti:
a. Kepemilikan.
Apakah unit bisnis yang akan didirikan merupakan milik pribadi atau milik
bersama. Apa saja keuntungan dan kerugian dari unit bisnis yang dipilih
tersebut? Hendakya dipilih yang tidak berisiko terlalu tinggi dan
menguntungkan.
b. Organisasi.
Jenis organisai apa yang diperlukan? Apakah organisasi lini, staf, lini dan
staf, atau bentuk lainnya. Tentukan jenis yang paling tepat dan efisien.
c. Tim manajemen. Apakah bisnis akan dikelola
sendiri atau melibatkan orang lain secara professional. Hal ini bergantung
skala usaha dan kemampuan yang dimiliki wirausaha.
d. Karyawan.
Karyawan harus disesuaikan, baik dalam jumlah maupun kualifikasinya.
4.
Analisis
Aspek Keuangan
Aspek
analisis keuangan meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
a. Kebutuhan
dana, yaitu kebutuhan dana untuk operasional perusahaan, misalnya besarnya dana
untuk aktiva tetap, modal kerja, dan pembiayaan awal.
b. Sumber
dana. Ada beberapa sumber dana yang layak digali, yaitu sumber dana internal
(misalnya modal disetor dan laba ditahan) dan modal eksternal (misalnya
penerbitan obligasi dan pinjaman).
c. Proyeksi
neraca. Sanat penting untuk mengetahui kekayaan perusahaan serta kondisi
keuangannya, misalnya saldo lancer, aktiva tetap, kewajiban jangka pendek,
kewajiban jangka panjang dan kekayaan bersih.
d. Proyeksi
laba rugi. Proyeksi laba atau rugi di masa yang akan datang. Komponennya
meliputi proyeksi penjualan, biayadan laba rugi bersih.
e. Proyeksi
arus khas. Dari arus khas dapat dilihat kemampuan perusahaan untuk membayar
kewajiban-kewajiban keuangannya. Ada tiga jenis arus khas, yaitu:
1. Arus
khas masuk, merupakan penerimaan berupa hasil penjualan atau pendaftaran.
2. Arus
khas keluar, merupakan biaya-biaya, termasuk pembayaran bunga dan pajak.
3. Arus
khas masuk bersih, merupakan selisih dari arus khas masuk dan asru khas keluar
ditambah penyusutan dan perhitungan bunga setelah pajak.
BAB III
KESIMPULAN
Lalu apa yang dimaksud dengan “bisnis” itu sendiri?
Menurut Steinholff (1979: 5), “Business
is all those activities involved in providing the goods and services needed or
desired by people. Dalam pengertian ini, kegiatan bisnis sebagai aktivitas
yang meyediakan barang dan jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh konsumen,
dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memiliki badan hukum,
perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun perorangan yang tidak memiliki
badan hukum maupun badan usaha seperti pedagang kaki lima, warung yang tidak
memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP), serta usaha informal lainnya.
Kelayakan usaha adalah sutau jegiatan yang
mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha atau bisnis yang akan
dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan.
Kelayakan artinya penelitina yang dilakukan secara mendalam bertujuan untuk
menentukan apakah usaha yang dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih
besar dibangdingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain,
kelayakan dapat berarti bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan
financial dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan. Layak
juga berarti dapat memberikan keuntungan yang tidak hanya bagi perusahaan yang
menjalankannya, tetapi juga bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat
luas.
Dalam
proses dan tahap studi kelayakan usaha dapat dilakukan melalui beberapa tahap,
antara lain tahap penemuan idea tau perumusan gagasan, tahap formulasi tujuan,
tahap analisis dan tahap keputusan. Dan untuk beberapa criteria yang dapat
dijadikan aspek penilaian adalah sebagai berikut analisis aspek pemasaran,
analisis aspek produksi atau operasi, analisis aspek manajemen dan analisis
aspek keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Solihin,
Ismail, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis dan Studi Kasus, PT Katalog Dalam
Terbitan, Jakarta: Kencana, 2006.
Sunarya,
PO, Abas, dkk, Kewirausahaan, PT C.V ANDI OFFESET, Yogyakarta, 2011.
[1]
Ismail Solihin, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis dan Studi Kasus, PT Katalog
Dalam Terbitan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 3.
[2]
Ismail Solihin, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis dan Studi Kasus, PT Katalog
Dalam Terbitan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 4.
[4] PO
Abas Sunarya, Sudaryono, Asep Saefullah, Kewirausahaan, PT. C.V ANDI OFFESET,
Yogyakarta, 2011, hlm. 129-131.
[5] PO
Abas Sunarya, Sudaryono, Asep Saefullah, Kewirausahaan, PT. C.V ANDI OFFESET,
Yogyakarta, 2011, hlm. 132-136.
PERBANKAN SYARIAH DAN ASURANSI DALAM PANDANGAN ISLAM
PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah
menerapkan sistem bagi hasil kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank.
Artinya, nasabah tidak akan pernah dapat menghitung dengan pasti berapa jumlah
uangnya yang akan bertambah setiap bulan bila mereka telah menabung dalam
jumlah tertentu. Namun, nasabah dapat menghitung porsi atau bagian yang menjadi
hak mereka dan berapa porsi atau bagian yang menjadi hak pihak bank syariah.
Perhitungan
bagi hasil dihitung secara harian oleh pihak bank syariah, namun akan diberikan
langsung oleh pihak bank melalui rekening nasabah setiap akhir bulan. Ada juga
beberapa bank syariah yang memberikan bagi hasilnya secara langsung melalui
rekening nasabah pada pertengahan bulan.
Nilai bagi
hasil yang diperoleh oleh nasabah tidak akan pernah sama setiap saat meskipun
jumlah uang yang mereka miliki di bank tersebut sama. Mangapa? Karena bagi
hasil tergantung pada berapa jumlah uang seluruh nasabah yang ditabung di bank
tersebut dan berapa jumlah uang yang telah dikelola oleh bank untuk
sektor-sektor usaha rill sehingga memberikan keuntungan bagi pihak bank.
Keuntunga inilah yang kemudian dibagi kepada pihak bank sebagai pengelola
uang (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik uang (shahibul mal) berdasarkan
porsi atau bagian yang telah disepakati bersama di muka.
Produk
Perbankan syariah
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran
Dana, (II) Penghimpunan Dana dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang
diberikan perbankan kepada nasabahnya.
Penyaluran
dana
Dalam
menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah
terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya
yaitu:
1.
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan
prinsip jual beli.
2.
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakuakan dengan
prinsip sewa.
3.
Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan
sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada
kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan
menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk
dalam kelompok ini adalah produk uang menggunakan prinsip jual beli seperti
murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu
ijiarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan
dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk
bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka.
Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan
mudharabah.
1.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip
jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang
atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan
dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli
dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
a.
Pembiayaan Murabahah
Murtabahah
bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu
(keuntungan) yaitu transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah
keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai
pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah
keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu
pembayarannya.
b.
Salam
Salam adalah
transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena
itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi
ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu
penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketentuan umum salam:
·
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti
jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
·
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka
nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai
dengan pesanan.
·
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai
persedian (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam
kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau
rekanan.ini disebut pasar Salam.
c.
Istishna
Produk ini
menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama
saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
ijiriah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir
masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah.
Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijiarah muntahhiyah bittmlik (sewa
yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga jual disepakati pada awal
perjanjian.
3.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan
mudharabah.
a.
Musyrakah
Musyarakah
adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka
secara bersama-sama memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang
berwujud maupun tidak berwujud (berupa dana, barang perdagangan [trading
asset], kewiraswaataan [entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan
[property], peralatan[equipment], atau intangible asset [seperti hak paten atau
goodwill], kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang lainnya
yang dapat dinilai dengan uang.
ketentuan
umum:
Semua modal
disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama.
Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukkan kebijakan usaha yang
dijalankan oleh pelaksana proyek.
b.
Mudharabah
Mudhrabah
adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
(shahibul maal) mempercyakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan
suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Perbedaan
yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi
atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu dalam mudhrabah modal
hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari
dua pihak atau lebih. Musyarakah dan Mudharabah dalam literatul fiqih berbentuk
perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang
tinggi dan menjungjung keadilan.
Ketentuan
umum
·
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus
diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan dalam satuan
uang.
·
Perhitungan dilakukan dengan pendapatan proyek (revenue sharing) dan
perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing).
·
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan akad.
·
Bank berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak
diperkenankan untuk mencapuri pekerjaan nasabah.
Mudharabah
Muqqayadah
Karakteristik
mudharabbah muqayadah pada dasarnya sama dengan spersyaratan diatas.
Perbedaannya adalah terletak pada dasarnya adalah terletak pada adanya
pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaanpemilik modal.
4.
Akad Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanyaa diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelngkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti
biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti
biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.
Hiwalah (Alih Utang – Piutang)
Hiwalah
adalah transaksi mengalihkan utang piutang.
b.
Rahn (Gadai)
Tujuan akad
rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas
ukuran,sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c.
Qardh
Qardh adalah
pinjaman uang.
d.
Wakalah
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan
L/C, inkaso dan transfer uang.
e.
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank
dapat diberikan dengan tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban
pembayaran.
2. Produk Penghimpunan Bank
Penghimpunan
dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabuangan dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadiah dan mudharabah.
1.
Prinsip Wadiah
Prinsip
wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah
dhamanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang
dititipi. Sedangkan dalam hal Wadiah dhamanah, pihak yang dititipi (bank)
bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan
harta titipan tersebut.
Karena
wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad
dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak
sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Ketentuan
umum dari produk ini adalah:
·
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung
bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung
kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu
insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·
Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran
dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank
dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
·
Terhadap pembukuan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya
administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
·
Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap
berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2.
Prinsip Mudharabah
Dalam
mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana
tersebut digunakan seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini
akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank
menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab
penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada
mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah,
ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan
berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan
kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga
yaitu:
a.
Mudaharabah mutlaqah
Penerapan
mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua
jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana
yang dihimpun.
b.
Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet
Jenis
mudharabbah ini merupakan simpanan khusus (restriced investment) dimana pemilik
dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank.
Misalnya diisyarakatkan digunakan untuk bisnis tertentu atau diisyarkatkan
untuk nasabah tertentu. Perhitungan bagi hasil Mudharabah Muqqayyadah on
balance Sheet adalah seluruh nasabah kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu
pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah investor
memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank syariah untuk mengatur seluruh
aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh
sektor.
c.
Mudharabah Muqqayyadah off Balance Sheet
Jenis
muddarabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langusung kepada pelaksana
usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan
antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Dalam skema ini bank syariah
bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara
off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan
pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nsabah
investor dan pelaksana usaha bank hanya memperoleh arrengger fee.
3.
Akad Pelangkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad
pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun
ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah
(Perwakilan)
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan
transfer uang.
III.C
Jasa Perbankan
Bank syariah
dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan
mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara
lain berupa:
a.
Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada
prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata
uang yang tidak sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama
(spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b.
Ijarah (sewa)
Jenis
kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit
box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan
sewa dari jasa tersebut.
ASURANSI YANG SEJALAN DENGAN ISLAM DAN YAN TIDAK SEJALAN DENGAN ISLAM
Sejarah dan
Pengertian
Asuransi telah lahir
dan ditemukan jauh sebelum datangnya Islam yang digali melalui sejarah
perekonomian dan kebudayaan manusia sejak zaman dulu, bahkan para pakar sejarah
mengaitkannya dengan sejarah nabi Yusuf as. Sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab suci al-Qur'an[1].
Riwayat lain menurut Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak
zaman Babilonia sekitar 3000 tahun sebelum masehi[2].
Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di barat kemudian berdirilah Lloyd
of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Berbeda dengan asuransi
syariah, sejarah lahirnya asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan
sebutan Al-Aqilah. Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi
bagian dari hukum Islam. Hal ini didasarkan oleh hadits dari baginda nabi
Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dia berkata:
berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu melempar batu
ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta
janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan kepada baginda Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw, memutuskan ganti
rugi dari pembunuhan janin tersebutdengan pembebasan seorang budak laki-laki
maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian tersebut dengan diyat
yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR.
Bukhori)
Dalam budaya suku Arab
dulu, jika anggota suku membunuh anggota suku yang lain, maka ahli waris
terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran uang darah) sebagai penutupan.
Kemudian Rasulullah Saw membuat ketentuan tentang penyelamatan jiwa para
tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, maka harus membayar tebusan
untuk membebaskannya. Selain itu, Rasulullah Saw juga telah menetapkan
menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah kompensasi untuk
berbagai kecelakaan akibat perang seperti :
·
5 ekor unta untuk luka tulang dalam
·
10 ekor unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki
·
12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris)
Dari sejarah diatas
dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi syariah berbeda dengan
konvensional. Dimana sejarah asuransi syariah lebih kepada tolong menolong satu
sama lain sedangkan konvensional lebih kepada mencari keuntungan semata.
Perkembangan sejarah
diatas akhirnya memunculkan sebuah pengertian berbeda, dimana pengertian
asuransi konvensional sebagaimana disebutkan diatas bahwa asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikat diri
pada tertanggung. Sedangkan asuransi syariah yang oleh beberapa ulama
mendefinisikannya seperti menurut Rofiq Yunus Al-Mashri, asuransi adalah
perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung untuk sesuatu yang dipertanggungkan[3].
Sedangkan Wahbah
Zuhaili dalam Fikih Islami mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya.
Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni
(asuransi dengan pembagian tetap).
Asuransi ini adalah
kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi
ketika salah seorang diantara mereka mendapat kecelakaan/kerugian. Kecelakaan
yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian,
kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai
dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi
orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Dan at-ta’min bi
qist sabit adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang
kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan
perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti
rugi.
Lebih lanjut
dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min bi qist
sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan antara kedua
asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga terletak pada tujuan masing-masing. At-ta’min
at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata
untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang
anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum kebolehan
at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan
prinsip Islam.
Mekanisme Umum
Model asuransi
konvensional dilarang dalam Islam karena mengandung beberapa hal yang
bertentangan dengan syariah diantaranya:
1.
Jual Beli Resiko
Dalam asuransi
konvensional secara umum mekanismenya adalah mengurangi uncertainty
(ketidakpastian, keraguan) yang disebabkan oleh adanya kemungkinan kerugian.
Asuransi memberikan kepastian kepada peserta asransi dengan memberikan biaya
kerugian atau transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari
peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer
of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai
konsekwensi, maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik
perusahaan ausransi. Perusahaan asuransi akan memberikan klaim atau tuntutan
atas suatu hak yang timbul karena persyaratan dalam perjanjian yang ditentukan
sebelumnya telah dipenuhi.
Model seperti ini dalam
pandangan ulama tidak diperbolehkan, hal ini karena premi asuransi yang
dibayarkan merupakan imbalan jasa atas jaminan yang diberikan kepada
tertanggung untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung.
Selain itu, juga merupakan imbalan jasa atas perlindungan yang diberikan oleh
penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang terhadap resiko
hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa). Permi asuransi adalah syarat yang
harus dibayarkan sebagai pra-syarat adanya perjanjian asuransi (no premium
no insurance). Hal ini mengandung unsur-unsur perjudian/taruhan, spekulasi
dan riba karena model perputaran uang dalam asuransi konvensional masih samar,
terutama pembayaran klain atas polis asuransi dan hal ini mengandung ghoror.
Selain itu perusahaan terkadang beruntung dan terkadang merugi dengan artian
apabila insiden itu besar dan lebih banyak daripada yang dibayar, maka
perusahaan merugi. Apabila insidenya kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar
klaimnya, maka dia beruntung atau sebaliknya yaitu jika tidak terjadi insiden
sama sekali maka kliennya merugi. Dan model ini dinamakan jual beli resiko.
Lebih dari itu, akad
atau perjanjian dalam asuransi konvensional yang digunakan adalah jual beli
(aqd tadabuli). Namun jika memang akadnya jual beli, sudah seharusnya syarat
dalam transaksi jual beli harus terpenuhi. Diantara syarat itu adalah adanya
penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada
asuransi konvensional ini, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh
dana. Padahal, asuransi konvensional secara pengertian hanya mengikat antara
penanggung dan tertanggung sehingga jelas keghororannya.
2.
Taruhan
Hal lain yang sering
dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana
yang yang telah disetorkan kepada perusahaan. Dalam praktek asuransi yang murni
berorientasi bisnis berlomba menghadirkan model atau sistem terbaik untuk menggaet
pelanggan. Sehingga sistem yang ditawarkan beraneka ragam. Beberapa model
asuransi konvensional yang saat ini berkembang adalah:
a.
Dana Hangus, nasabah yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin
mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus.
bahkan yang lebih parah lagi, premi yang sudah dibayarkan akan hangus jika
tidak ada klaim.
b.
Manfaat Hilang. Manfaat asuransi tidak berlaku apabila pembayaran premi
dihentikan atau tunggakan premi tidak dilunasi dalam masa leluasa (grace
period). Seperti pada asuransi Bumiputera
c.
Dana yang telah disetorakan (premi) berkurang nilainya ketika masa habis
kontrak dan tidak ada klaim selama kontrak berlangsung. Seperti asuransi
Sinarmas.
Hal ini menurut para
ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu
melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan
ini nasabah dalam posisi yang didzalimi, padahal dalam praktek muamalah
dilarang saling mendzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara
(tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Kesimpulan
Asuransi konvensional
memiliki banyak kelemahan dan praktek-praktek operasionalnya yang disembunyikan
sehingga menuai banyak larangan dalam syariat Islam. Diantara kelemahan dan
ketidak jelasan sebagai berikut:
1.
Akad/kontrak. Kontrak dalam asuransi konvensional adalah jual beli, namun
tidak melaksanakan syarat-syarat jual beli.
2.
Cara penentuan besaran premi yang dibayarkan ke perusahaan berdasarkan bunga
komulatif (pokok dan bunga) yang didapat perusahaan.
3.
Dana premi yang telah dibayarkan bisa hilang secara keseluruhan, atau hilang
manfaatnya, atau kembali namun dengan jumlah yang berkurang tanpa ada kejelasan
terlebih dulu.
4.
Dana pembayaran klaim polis didapat dari sumber yang samar.
5.
Reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional bersifat bebas
dan tidak mengikat.
Langganan:
Postingan (Atom)